Kota Di Indonesia

Showing posts with label Kota Di Indonesia. Show all posts
Showing posts with label Kota Di Indonesia. Show all posts

Wednesday, October 5, 2016

Sejarah Kota Bengkulu


Propinsi Bengkulu berdiri pada tanggal 18 November 1968 dengan Ibu Kota Bengkulu, Kota Bengkulu sebelumnya merupakan ibu kota Kabupaten Bengkulu Utara dab bagian dari Sumatera Selatan. Sekarang Kota Bengkulu memiliki 4 Kecamatan setelah diperluas, yaitu Kecamatan Teluk Segara, Gading Cempaka, Bangkahulu dan Selebar.


Putri Gading Cempaka adalah nama seorang putri kerajaan Bengkulu yang yang juga identik dengan propinsi ini dan juga sering orang menyebut dengan Bumi Rafflesia karena di propinsi ini ada bunga terbesar di dunia yaitu bunga Rafflesia Arnoldy di Bengkulu Utara, Bengkulu Selatan, Rejang Rebong, dan Kepahyang.

Tempat Wisata sangat bagus di Bengkulu, ada Benteng Marlborough peninggalan Inggris pada abad 16an, Pantai Panjang, Danau Dendam Taksudah, Pantai Zakat, Tapak Paderi dan Wisata sejarah lainnya seperti makam Sentot Ali Basah dll.

Bengkulu merupakan kota yang kecil, hanya dengan kurang lebih 2 jam kita telah dapat mengelilingi kota Bengkulu, pantai panjangnya merupakan salah satu pantai terindah di Indonesia

Kota Bengkulu sangat bagus dijadikan kota wisata, dan Kota Pelajar karena kota ini tenang dan indah... keramahan penduduk Bengkulu dapat dilihat dari lagu dan tari-tariannya. Pestival Tabot setiap tahun merupakan gambaran gotong royong dan kebersamaan di Bengkulu

Sejarah Kota Palembang


Palembang merupakan kota tertua di Indonesia, hal ini didasarkan pada prasasti Kedukan Bukit (683 M) yang diketemukan di Bukit Siguntang, sebelah barat Kota Palembang, yang menyatakan pembentukan sebuah wanua yang ditafsirkan sebagai kota yang merupakan ibukota Kerajaan Sriwijaya pada tanggal 16 Juni 683 Masehi (tanggal 5 bulan Ashada tahun 605 syaka). Maka tanggal tersebut dijadikan patokan hari lahir Kota Palembang.


Batu-bersurat (prasasti) itu ditemukan oleh Controleur Batenberg di tepi sungai Kedukan Bukit, yakni diantara Bukit Seguntang dengan Situs Karanganyar pada tahun 1926 dengan menggunakan huruf Pallawa dan bahasa Melayu kuno. Prasasti tersebut oleh penduduk kampung Kedukan Bukit waktu itu dijadikan semacam tumbal bila akan mengikuti lomba Bidar, yakni dengan cara meletakkan di haluan Bidar yang akan diperlombakan. Konon, Bidar atau Perahu yang digentoli dengan batu “sakti-bertuah” itu senantiasa menang berlomba. Kemudian Batu-bersurat Kedukan Bukit itu ditelaah oleh para pakar sejarah dan kebudayaan, diantaranya Prof. M. Yamin yang menyatakan, itulah proklamasi (penggalian/pemindahan) ibukota Sriwijaya (dari tempat lain) ke Bukit Seguntang.

Prasasti Kedukan Bukit itu berbunyi sebagai berikut:

(1) Swasti cri cakawarsatita 605 ekadaci cu (2) klapaksa wulan waicakha dapunta hiyang nayik di (3) samwau manalap siddhayatra disaptami cuklapaksa (4) wulan jyesta dapunta hiyang marlapas dari Minanga (5) Tamvan mamawa yam wala dualaksa danan koca (6) duaratus cara di samwau danan jalan sariwu (7) tluratus sapulu dua wannakna datam di Mukha Upang (8) Sukhacitta di pancami cuklapaksa wulan (9) laghu mudita datam marwuat wanua (10) Criwijava siddhayatra subhiksa.

[Bacaan Prof. Poerbacaraka, G. Coedes, Prof. Dr. Ph.S. Van Ronkel Dr. Buchari, Prof. Slametmulyana]

Kota Palembang juga dipercayai oleh masyarakat melayu sebagai tanah leluhurnya. Karena di kota inilah tempat turunnya cikal bakal raja Melayu pertama yaitu Parameswara yang turun dari Bukit Siguntang. Kemudian Parameswa meninggalkan Palembang bersama Sang Nila Utama pergi ke Tumasik dan diberinyalah nama Singapura kepada Tumasik. Sewaktu pasukan Majapahit dari Jawa akan menyerang Singapura, Parameswara bersama pengikutnya pindah ke Malaka disemenanjung Malaysia dan mendirikan Kerajaan Malaka. Beberapa keturunannya juga membuka negeri baru di daerah Pattani dan Narathiwat (sekarang wilayah Thailand bagian selatan). Setelah terjadinya kontak dengan para pedagang dan orang-orang Gujarat dan Persia di Malaka, maka Parameswara masuk agama Islam dan mengganti namanya menjadi Sultan Iskandar Syah.

Berbicara mengenai asal usul kota Palembang, memang tidak bisa dilepaskan dari sejarah perkembangan kerajaan Sriwijaya, yang pernah menjadikan kota Palembang sebagai ibukotanya. Kejayaan Sriwijaya seolah-olah diturunkan kepada Kesultanan Palembang Darusallam pada zaman madya sebagai kesultanan yang disegani dikawasan Nusantara. Palembang pernah berfungsi sebagai pusat kerajaan Sriwijaya dari abad ke-7 (tahun 683 Masehi) hingga sekitar abad ke-12 di bawah Wangsa Sailendra/Turunan Dapunta Salendra dengan Bala Putra Dewa sebagai Raja Pertama. Pada abad ke-17 kota Palembang menjadi ibukota Kesultanan Palembang Darussalam yang diproklamirkan oleh Pangeran Ratu Kimas Hindi Sri Susuhanan Abdurrahman Candiwalang Khalifatul Mukminin Sayidul Iman (atau lebih dikenal Kimas Hindi/Kimas Cinde) sebagai sultan pertama (1643-1651), terlepas dari pengaruh kerajaan Mataram (Jawa). Tanggal 7 Oktober 1823 Kesultanan Palembang dihapuskan oleh penjajah Belanda dan kota Palembang dijadikan Komisariat di bawah Pemerintahan Hindia Belanda (kontrak terhitung 18 Agustus 1823), dengan Commisaris Sevenhoven sebagai pejabat Pemerintah Belanda pertama. Kemudian kota Palembang dijadikan Gameente/haminte berdasarkan stbld. No. 126 tahun 1906 tanggal 1 April 1906 hingga masuknya Jepang tanggal 16 Februari 1942. Palembang Syi yang dipimpin Syi-co (Walikota) berlangsung dari tahun 1942 hingga kemerdekaan RI. Berdasarkan keputusan Gubernur Kdh. Tk. I Sumatera Selatan No. 103 tahun 1945, Palembang dijadikan Kota Kelas A. Berdasarkan Undang-Undang No. 22 Tahun 948, Palembang dijadikan Kota Besar. Berdasarkan Undang-Undang No. 18 Tahun 1965, Palembang dijadikan Kotamadya. Berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tanggal 23 Juli 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, Palembang dijadikan Kotamadya Daerah Tingkat II Palembang.

sumber : http://infokito.wordpress.com/2007/07/15/mengenal-kota-palembang/

Sejarah Kota Lampung


Piagam Bojong menunjukkan bahwa tahun 1500 hingga 1800 Masehi Lampung dikuasai oleh kesultanan Banten.

Putra mahkota Banten, Sultan Haji, menyerahkan beberapa wilayah kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa kepada Belanda. Di dalamnya termasuk Lampung sebagai hadiah bagi Belanda karena membantu melawan Sultan Ageng Tirtayasa.



Permintaan itu termuat dalam surat Sultan Haji kepada Mayor Issac de Saint Martin, Admiral kapal VOC di Batavia yang sedang berlabuh di Banten. Surat bertanggal 12 Maret 1682 itu isinya, Saya minta tolong, nanti daerah Tirtayasa dan negeri-negeri yang menghasilkan lada seperti Lampung dan tanah-tanah lainnya sebagaimana diinginkan Mayor/ Kapten Moor, akan segera serahkan kepada kompeni.

Surat itu kemudian dikuatkan dengan surat perjanjian tanggal 22 Agustus 1682 yang membuat VOC memperoleh hak monopoli perdagangan lada di Lampung.

Akan tetapi, upaya menguasai pasar lada hitam Lampung kurang memperoleh sambutan baik. Pada 21 November 1682 VOC kembali ke pulau Jawa hanya membawa 744.188 ton lada hitam seharga 62.292,312 gulden.

Dari angka itu dapat disimpulkan bahwa Lampung kala itu dikenal sebagai penghasil lada hitam utama. Lada hitam pula yang mengilhami berbagai negara Eropa ambil bagian dalam konstelasi politik Nusantara kala itu. Penguasaan sumber rempah-rempah dunia berarti menguasai perdagangan dunia-dan tentu saja wilayah.

Kejayaan Lampung sebagai sumber lada hitam pun mengilhami para senimannya sehingga tercipta lagu Tanoh Lada. Bahkan, ketika Lampung diresmikan menjadi provinsi pada 18 Maret 1964, lada hitam menjadi salah satu bagian lambang daerah itu. Namun, sayang saat ini kejayaan tersebut telah pudar.

Sejarah Tapanuli Tengah


Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, pelaksanaan urusan Pemerintahan di daerah antara lain di Tapanuli Tengahtetap dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada tanggal 24 Agustus 1945 Residen Tapanuli, saat itu menghunjuk Z.A. Glr Sutan Komala Pontas Pemimpin Distrik Sibolga selanjutnya sebagai Demang dan menjadi penanggung jawab pelaksana roda pemerintahan di Tapanuli Tengah. Pada saat itu Dr. Ferdinand Lumbantobing eks Wakil Residen Tapanuli menjadi Residen Tapanuli berkedudukan di Tarutung.

Pada tanggal 15 Oktober 1945 oleh Gubernur Sumatera Mr. T. Mohd. Hasan menyerahkan urusan pembentukan daerah Otonom setingkat di wilayahnya pada pemerintahan daerah kepada masing-masing Residen.

Gubernur Tapanuli Sumatera Timur dengan Keputusan Nomor 1 Tahun 1946 mengangkat dan mengukuhkan Z.A. Glr Sutan Komala Pontas sebagai Bupati/Kepala Luhak Tapanuli Tengah. Sesuai Keputusan Gubernur Sumatera Timur tanggal 17 Mei 1946 Kota Sibolga dijadikan sebagai Kota Administratif yang dipimpin oleh seorang Walikota dan pada saat itu dirangkap oleh Bupati Kabupaten Sibolga (Tapanuli Tengah) yaitu Z.A. Glr Sutan Komala Pontas. Luas wilayah Kota Administratif Sibolga ditetapkan dengan Ketetapan Residen Tapanuli Nomor 999 Tahun 1946.

Pada tahun 1946 di Tapanuli Tengah mulai dibentuk Kecamatan untuk menggantikan sistem Pemerintahan Onder Distrik Afdeling pada masa Pemerintahan Belanda. Kabupaten Tapanuli Tengah sebagai Daerah Otonom dipertegas oleh Pemerintah dengan Undang-undang Nomor 7 Drt 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Kabupaten-kabupaten dalam lingkungan Daerah Propinsi Sumatera Utara. Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Tapanuli Tengah Nomor 19 Tahun 2007 maka ditetapkan Hari Jadi Kabupaten Tapanuli Tengah adalah tanggal 24 Agustus 1945.

Dalam perjalanan Pemerintah Kabupaten Tapanuli Tengah telah silih berganti Kepala Daerahmulai dari Z.A. Glr Sutan Komala Pontas (1945 – 1946), Prof. Mr. M. Hazairin (1946 – 1946), A. M. Djalaluddin (1946 – 1947), Mangaraja Sori Muda (1947 – 1952), Ibnu Sa’adan (1952 – 1954), Raja Djundjungan (1954 – 1958), Matseh Glr. Kasayangan (1958 – 1959), M. Samin Pakpahan (1959 – 1965), S.S. Paruhum Stn. Singengu (1965 – 1967), Ridwan Hutagalung (1967 – 1975), Bangun Siregar (1975 – 1980), Lundu panjaitan, SH (1980 – 1985), H. Abd. Wahab Dalimunthe, SH (1985 – 1990), Drs. Amrun Daulay (1990 – 1995), Drs. Panusunan Pasaribu (1995 – 2001), Drs. Tuani Lumbantobing (2001 – 2006), Drs. Rudolf Pardede, sebagai Penjabat (2006), Drs. Tuani Lumbantobing (2006 – Sekarang).