Wednesday, October 5, 2016

Sejarah Kota Medan




Pada zaman dahulu Kota Medan ini dikenal dengan nama Tanah Deli dan keadaan tanahnya berawa-rawa kurang lebih seluas 4000 Ha. Beberapa sungai melintasi Kota Medan ini dan semuanya bermuara ke Selat Malaka. Sungai-sungai itu adalah Sei Deli, Sei Babura, Sei Sikambing, Sei Denai, Sei Putih, Sei Badra, Sei Belawan dan Sei Sulang Saling/Sei Kera.


Pada mulanya yang membuka perkampungan Medan adalah Guru Patimpus lokasinya terletak di Tanah Deli, maka sejak zaman penjajahan orang selalu merangkaikan Medan dengan Deli (Medan–Deli). Setelah zaman kemerdekaan lama kelamaan istilah Medan Deli secara berangsur-angsur lenyap sehingga akhirnya kurang popular.

Dahulu orang menamakan Tanah Deli mulai dari Sungai Ular (Deli Serdang) sampai ke Sungai Wampu di Langkat sedangkan Kesultanan Deli yang berkuasa pada waktu itu wilayah kekuasaannya tidak mencakup daerah diantara kedua sungai tersebut.

Secara keseluruhan jenis tanah di wilayah Deli terdiri dari tanah liat, tanah pasir, tanah campuran, tanah hitam, tanah coklat dan tanah merah. Hal ini merupakan penelitian dari Van Hissink tahun 1900 yang dilanjutkan oleh penelitian Vriens tahun 1910 bahwa disamping jenis tanah seperti tadi ada lagi ditemui jenis tanah liat yang spesifik. Tanah liat inilah pada waktu penjajahan Belanda ditempat yang bernama Bakaran Batu (sekarang Medan Tenggara atau Menteng) orang membakar batu bata yang berkwalitas tinggi dan salah satu pabrik batu bata pada zaman itu adalah Deli Klei.

Mengenai curah hujan di Tanah Deli digolongkan dua macam yakni : Maksima Utama dan Maksima Tambahan. Maksima Utama terjadi pada bulan-bulan Oktober s/d bulan Desember sedang Maksima Tambahan antara bulan Januari s/d September. Secara rinci curah hujan di Medan rata-rata 2000 pertahun dengan intensitas rata-rata 4,4 mm/jam.

Menurut Volker pada tahun 1860 Medan masih merupakan hutan rimba dan disana sini terutama dimuara-muara sungai diselingi pemukiman-pemukiman penduduk yang berasal dari Karo dan semenanjung Malaya. Pada tahun 1863 orang-orang Belanda mulai membuka kebun Tembakau di Deli yang sempat menjadi primadona Tanah Deli. Sejak itu perekonomian terus berkembang sehingga Medan menjadi Kota pusat pemerintahan dan perekonomian di Sumatera Utara.

Pada awal perkembangannya merupakan sebuah kampung kecil bernama "Medan Putri". Perkembangan Kampung "Medan Putri" tidak terlepas dari posisinya yang strategis karena terletak di pertemuan sungai Deli dan sungai Babura, tidak jauh dari jalan Putri Hijau sekarang. Kedua sungai tersebut pada zaman dahulu merupakan jalur lalu lintas perdagangan yang cukup ramai, sehingga dengan demikian Kampung "Medan Putri" yang merupakan cikal bakal Kota Medan, cepat berkembang menjadi pelabuhan transit yang sangat penting.

Semakin lama semakin banyak orang berdatangan ke kampung ini dan isteri Guru Patimpus yang mendirikan kampung Medan melahirkan anaknya yang pertama seorang laki-laki dan dinamai si Kolok. Mata pencarian orang di Kampung Medan yang mereka namai dengan si Sepuluh dua Kuta adalah bertani menanam lada. Tidak lama kemudian lahirlah anak kedua Guru Patimpus dan anak inipun laki-laki dinamai si Kecik.

Pada zamannya Guru Patimpus merupakan tergolong orang yang berfikiran maju. Hal ini terbukti dengan menyuruh anaknya berguru (menuntut ilmu) membaca Alqur’an kepada Datuk Kota Bangun dan kemudian memperdalam tentang agama Islam ke Aceh.

Keterangan yang menguatkan bahwa adanya Kampung Medan ini adalah keterangan H. Muhammad Said yang mengutip melalui buku Deli In Woord en Beeld ditulis oleh N.Ten Cate. Keterangan tersebut mengatakan bahwa dahulu kala Kampung Medan ini merupakan Benteng dan sisanya masih ada terdiri dari dinding dua lapis berbentuk bundaran yang terdapat dipertemuan antara dua sungai yakni Sungai Deli dan sungai Babura. Rumah Administrateur terletak diseberang sungai dari kampung Medan. Kalau kita lihat bahwa letak dari Kampung Medan ini adalah di Wisma Benteng sekarang dan rumah Administrateur tersebut adalah kantor PTP IX Tembakau Deli yang sekarang ini.

Sekitar tahun 1612 setelah dua dasa warsa berdiri Kampung Medan, Sultan Iskandar Muda yang berkuasa di Aceh mengirim Panglimanya bernama Gocah Pahlawan yang bergelar Laksamana Kuda Bintan untuk menjadi pemimpin yang mewakili kerajaan Aceh di Tanah Deli. Gocah Pahlawan membuka negeri baru di Sungai Lalang, Percut. Selaku Wali dan Wakil Sultan Aceh serta dengan memanfaatkan kebesaran imperium Aceh, Gocah Pahlawan berhasil memperluas wilayah kekuasaannya, sehingga meliputi Kecamatan Percut Sei Tuan dan Kecamatan Medan Deli sekarang. Dia juga mendirikan kampung-kampung Gunung Klarus, Sampali, Kota Bangun, Pulau Brayan, Kota Jawa, Kota Rengas Percut dan Sigara-gara.

Dengan tampilnya Gocah pahlawan mulailah berkembang Kerajaan Deli dan tahun 1632 Gocah Pahlawan kawin dengan putri Datuk Sunggal. Setelah terjadi perkawinan ini raja-raja di Kampung Medan menyerah pada Gocah Pahlawan.

Gocah Pahlawan wafat pada tahun 1653 dan digantikan oleh puteranya Tuangku Panglima Perunggit, yang kemudian memproklamirkan kemerdekaan Kesultanan Deli dari Kesultanan Aceh pada tahun 1669, dengan ibukotanya di Labuhan, kira-kira 20 km dari Medan.

Jhon Anderson seorang Inggris melakukan kunjungan ke Kampung Medan tahun 1823 dan mencatat dalam bukunya Mission to the East Coast of Sumatera bahwa penduduk Kampung Medan pada waktu itu masih berjumlah 200 orang tapi dia hanya melihat penduduk yang berdiam dipertemuan antara dua sungai tersebut. Anderson menyebutkan dalam bukunya “Mission to the East Coast of Sumatera“ (terbitan Edinburg 1826) bahwa sepanjang sungai Deli hingga ke dinding tembok mesjid Kampung Medan di bangun dengan batu-batu granit berbentuk bujur sangkar. Batu-batu ini diambil dari sebuah Candi Hindu Kuno di Jawa.

Pesatnya perkembangan Kampung "Medan Putri", juga tidak terlepas dari perkebunan tembakau yang sangat terkenal dengan tembakau Delinya, yang merupakan tembakau terbaik untuk pembungkus cerutu. Pada tahun 1863, Sultan Deli memberikan kepada Nienhuys Van der Falk dan Elliot dari Firma Van Keeuwen en Mainz & Co, tanah seluas 4.000 bahu (1 bahu = 0,74 ha) secara erfpacht 20 tahun di Tanjung Sepassi, dekat Labuhan. Contoh tembakau deli. Maret 1864, contoh hasil panen dikirim ke Rotterdam di Belanda, untuk diuji kualitasnya. Ternyata daun tembakau tersebut sangat baik dan berkualitas tinggi untuk pembungkus cerutu.

Kemudian di tahun 1866, Jannsen, P.W. Clemen, Cremer dan Nienhuys mendirikan de Deli Maatscapij di Labuhan. Kemudian melakukan ekspansi perkebunan baru di daerah Martubung, Sunggal (1869), Sungai Beras dan Klumpang (1875), sehingga jumlahnya mencapai 22 perusahaan perkebunan pada tahun 1874. Mengingat kegiatan perdagangan tembakau yang sudah sangat luas dan berkembang, Nienhuys memindahkan kantor perusahaannya dari Labuhan ke Kampung "Medan Putri". Dengan demikian "Kampung Medan Putri" menjadi semakin ramai dan selanjutnya berkembang dengan nama yang lebih dikenal sebagai "Kota Medan".


Menurut legenda di zaman dahulu kala pernah hidup di Kesultanan Deli lama kira-kira 10 Km dari Kampung Medan yakni di Deli Tua sekarang seorang Putri yang sangat cantik dan karena kecantikannya diberi nama Putri Hijau. Kecantikan Putri ini tersohor kemana-mana mulai dari Aceh sampai ke ujung Utara Pulau Jawa.

Sultan Aceh jatuh cinta pada Putri itu dan melamarnya untuk dijadikan permaisurinya. Lamaran Sultan Aceh itu ditolak oleh saudara kedua laki-laki Putri Hijau. Sultan aceh sangat marah karena penolakan itu dianggapnya sebagai penghinaan terhadap dirinya. Maka pecahlah perang antara Kesultanan Aceh dengan Kesultanan Deli.

Menurut legenda yang tersebut diatas, dengan menggunakan kekuatan gaib seorang dari saudara Putri hijau menjelma menjadi seekor ular naga dan seorang lagi menjadi sepucuk meriam yang tidak henti-hentinya menembaki tentara Aceh hingga akhir hayatnya.

KesultananDeli lama mengalami kekalahan dalam peperangan itu dan karena kecewa Putra Mahkota yang menjelma menjadi meriam itu meledak sebagian, bagian belakangnya terlontar ke Labuhan Deli dan bagian depannya kedataran tinggi Karo kira-kira 5 Km dari Kabanjahe.

Putri Hijau ditawan dan dimasukkan dalam sebuah peti kaca yang dimuat kedalam kapal untuk seterusnya dibawa ke Aceh. Ketika kapal sampai di Ujung Jambo Aye, Putri Hijau mohon diadakan satu upacara untuknya sebelum peti diturunkan dari kapal. Atas permintaannya, harus diserahkan padanya sejumlah beras dan beribu-ribu telur dan permohonan tuan Putri dikabulkan. Tetapi baru saja uapacara dimulai tiba-tiba berhembuslah angin ribut yang maha dahsyat disusul gelombang-gelombang yang sangat tinggi.

Dari dalam laut muncullah abangnya yang telah menjelma menjadi ular naga itu dan dengan menggunakan rahangnya yang besar itu diambilnya peti tempat adiknya dikurung, lalu dibawanya masuk ke dalam laut.

Legenda ini samapai sekarang masih terkenal di kalangan masyarakat Deli dan malahan juga dalam masyarakat Melayu di Malaysia.

Di Deli Tua masih terdapat reruntuhan Benteng dan Puri yang berasal dari zaman Putri Hijau, sedang sisa meriam penjelmaan abang Putri Hijau itu dapat dilihat di halaman Istana Maimun Medan.

Belanda yang menjajah Nusantara kurang lebih setengah abad namun untuk menguasai Tanah Deli mereka sangat banyak mengalami tantangan yang tidak sedikit. Mereka mengalami perang di Jawa dengan pangeran Diponegoro sekitar tahun 1825-1830. Belanda sangat banyak mengalami kerugian sedangkan untuk menguasai Sumatera, Belanda juga berperang melawan Aceh, Minangkabau, dan Sisingamangaraja di daerah Tapanuli.

Jadi untuk menguasai Tanah Deli Belanda hanya kurang lebih 78 tahun mulai dari tahun 1864 sampai 1942. Setelah perang Jawa berakhir barulah Gubernur Jenderal Belanda J.Van den Bosch mengerahkan pasukannya ke Sumatera dan dia memperkirakan untuk menguasai Sumatera secara keseluruhan diperlukan waktu 25 tahun. Penaklukan Belanda atas Sumatera ini terhenti ditengah jalan karena Menteri Jajahan Belanda waktu itu J.C.Baud menyuruh mundur pasukan Belanda di Sumatera walaupun mereka telah mengalahkan Minangkabau yang dikenal dengan nama perang Paderi ( 1821-1837 ).

Sultan Ismail yang berkuasa di Riau secara tiba-tiba diserang oleh gerombolan Inggeris dengan pimpinannya bernama Adam Wilson. Berhubung pada waktu itu kekuatannya terbatas maka Sultan Ismail meminta perlindungan pada Belanda. Sejak saat itu terbukalah kesempatan bagi Belanda untuk menguasai Kerajaan Siak Sri Indrapura yang rajanya adalah Sultan Ismail. Pada tanggal 1 Februari 1858 Belanda mendesak Sultan Ismail untuk menandatangani perjanjian agar daerah taklukan kerajaan Siak Sri Indrapura termasuk Deli, Langkat dan Serdang di Sumatera Timur masuk kekuasaan Belanda. Karena daerah Deli telah masuk kekuasaan Belanda otomatislah Kampung Medan menjadi jajahan Belanda, tapi kehadiran Belanda belum secara fisik menguasai Tanah Deli.

Pada tahun 1858 juga Elisa Netscher diangkat menjadi Residen Wilayah Riau dan sejak itu pula dia mengangkat dirinya menjadi pembela Sultan Ismail yang berkuasa di kerajaan Siak. Tujuan Netscher itu adalah dengan duduknya dia sebagai pembela Sultan Ismail secara politis tentunya akan mudah bagi Netscher menguasai daerah taklukan kerajaan Siak yakni Deli yang di dalamnya termasuk Kampung Medan Putri.

Perkembangan Medan Putri menjadi pusat perdagangan telah mendorongnya menjadi pusat pemerintahan. Tahun 1879, Ibukota Asisten Residen Deli dipindahkan dari Labuhan ke Medan, 1 Maret 1887,Ibukota Residen Sumatera Timur dipindahkan pula dari Bengkalis ke Medan, Istana Kesultanan Deli yang semula berada di Kampung Bahari (Labuhan) juga pindah dengan selesainya pembangunan Istana Maimoon pada tanggal 18 Mei 1891, dan dengan demikian Ibukota Deli telah resmi pindah ke Medan.

Pada tahun 1915 Residensi Sumatera Timur ditingkatkan kedudukannya menjadi Gubernemen. Pada tahun 1918 Kota Medan resmi menjadi Gemeente (Kota Praja) dengan Walikota Baron Daniel Mac Kay. Berdasarkan "Acte van Schenking" (Akte Hibah) Nomor 97 Notaris J.M. de-Hondt Junior, tanggal 30 Nopember 1918, Sultan Deli menyerahkan tanah kota Medan kepada Gemeente Medan, sehingga resmi menjadi wilayah di bawah kekuasaan langsung Hindia Belanda. Pada masa awal Kotapraja ini, Medan masih terdiri dari 4 kampung, yaitu Kampung Kesawan, Kampung Sungai Rengas, Kampung Petisah Hulu dan Kampung Petisah Hilir.

Pada tahun 1918 penduduk Medan tercatat sebanyak 43.826 jiwa yang terdiri dari Eropa 409 orang, Indonesia 35.009 orang, Cina 8.269 orang dan Timur Asing lainnya 139 orang.

Sejak itu Kota Medan berkembang semakin pesat. Berbagai fasilitas dibangun. Beberapa diantaranya adalah Kantor Stasiun Percobaan AVROS di Kampung Baru (1919), sekarang RISPA, hubungan Kereta Api Pangkalan Brandan - Besitang (1919), Konsulat Amerika (1919), Sekolah Guru Indonesia di Jl. H.M. Yamin sekarang (1923), Mingguan Soematra (1924), Perkumpulan Renang Medan (1924), Pusat Pasar, R.S. Elizabeth, Klinik Sakit Mata dan Lapangan Olah Raga Kebun Bunga (1929).

Secara historis perkembangan Kota Medan, sejak awal telah memposisikan menjadi pusat perdagangan (ekspor-impor) sejak masa lalu. sedang dijadikannya medan sebagai ibukota deli juga telah menjadikannya Kota Medan berkembang menjadi pusat pemerintah. sampai saat ini disamping merupakan salah satu daerah kota, juga sekaligus sebagai ibukota Propinsi Sumatera Utara.

Sejarah Propinsi Riau




Dengan di lantiknya Letkol Kaharuddin Nasution sebagai Gubernur, maka struktur Pemerintahan Daerah Tingkat I Riau dengan sendirinya mengalami pula perubahan. Badan Penasehat Gubernur Kepala Daerah dibubarkan dan pelaksanaan pemindahan ibukota dimulai. Rombongan pemindahan pertama dari Tanjungpinang ke Pekanbaru dimulai pada awal Januari 1960 dan mulai saat itu resmilah Pekanbaru menjadi ibukota.

Aparatur pemerintahan daerah, sesuai dengan Penpres No.6 tahun 1959 mulai dilengkapi dan sebagai langkah pertama dengan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri tanggal 14 April 1960 No. PD6/2/12-10 telah dilantik Badan Pemerintah Harian bertempat di gedung Pei Ing Pekanbaru dengan anggota-anggota terdiri dari :

1. Wan Ghalib
2. Soeman Hs
3. A. Muin Sadjoko

Anggota-anggota Badan Pemerintahan Harian tersebut merupakan pembantu-pembantu Gubernur Kepala Daerah untuk menjalankan pemerintahan sehari-hari. Di dalam rapat Gubernur, Badan Pemerintah Harian dan Staff Residen Mr. Sis Tjakraningrat, disusunlah program kerje Pemerintah Daerah, yang dititik beratkan pada :

1. Pemulihan perhubungan lalu lintas untuk kemakmuran rakyat.
2. Menggali sumber-sumber penghasilan daerah
3. Menyempurnakan aparatur.

Program tersebut dilaksanakan secara konsekwen sehingga dalam waktu singkat jalan raya antara Pekanbaru sampai batas Sumatera Barat siap dikerjakan. Jalan tersebut merupakan kebanggaan Provinsi Riau. Pemasukan keuangan daerah mulai kelihatan nyata, sehingga Kas Daerah yang pada mulanya kosong sama sekali, mulai berisi. Anggaran Belanja yang diperbuat kemudian tidak lagi merupakan anggaran khayalan tetapi betul-betul dapat dipenuhi dengan sumber-sumber penghasilan sendiri sebagai suatu daerah otonom.

Disamping itu atas prakarsa Gubernur Kaharuddin Nasution diusahakan pula pengumpulan dana disamping keuangan daerah yang sifatnya inkonvensional. Dana ini diperdapat dari sumber-sumber di luar anggaran daerah, dan hasilnya dimanfaatkan untuk pembangunan, diantaranya pembangunan pelabuhan baru beserta gudangnya, gedung pertemuan umum (Gedung Trikora), gedung Universitas Riau, Wisma Riau Mesjid Agung, Asrama Pelajar Riau untuk Putera dan Putri di Yogyakarta dan lain-lain.

Untuk penyempurnaan pemerintahan daerah, disusunlah DPRD-GR. Untuk itu ditugaskan anggota BPH Wan Ghalib dengan dibantu Bupati Dt. Mangkuto Ameh untuk mengadakan hearing dengan partai-partai politik dan organisasi-organisasi massa dalam menyusun komposisi. Sesuai dengan itu diajukan sebanyak 38 calon anggota yang disampaikan kepada menteri dalam negeri Ipik Gandamana.

Usaha untuk menyempurnakan Pemerintah Daerah terus ditingkatkan, disamping Gubernur Kepala Daerah, pada tanggal 25 April 1962 diangkat seorang Wakil Gubernur kepala Daerah, yaitu Dt. Wan Abdurrahman yang semula menjabat Walikota Pekanbaru, jabatan Walikota dipegang oleh Tengku Bay.

Masuknya unsur-unsur Nasional dan Komunis dalam tubuh BPH disebabkan saat itu sudah merupakan ketentuan yang tidak tertulis, bahwa semua aparat pemerintahan harus berintikan “NASAKOM”. Kemudian Penpres No. 6 tahun 1959 diganti dan disempurnakan dengan Undang-undang No. 18 tahun 1965 tentang pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Nasakomisasi diterapkan tidak melalui ketentuan perundang-undangan tetapi tekanan-tekanan dari atas.

Sejalan dengan itu dibentuk pula pula apa yang dinamakan Front Nasional Daerah Tingkat I Riau, yang pimpinan hariannya terdiri dari unsur Nasakom. Front Nasional ini mengkoordinir semua potensi parta-partai politik dan organisasi-organisasi massa. Dengan sendirinya di dalam Front Nasional ini bertarung ideologi yang bertentangan, yang menurut cita-cita haruslah dipersatukan.

Kedudukan pimpinan harian Front Nasional ini merupakan kedudukan penting, karena mereka menguasai massa rakyat. Karena itu pulalah Pimpinanan Harian tersebut didudukkan di samping Gubernur Kepala Daerah, yang merupakan anggota Panca Tunggal. Atas dasar Nasakomisasi ini, maka golongan komunis telah dapat merebut posisi yang kuat. Ditambah pula dengan tekanan-tekanan pihak yang berkuasa, maka peranan komunis dalam Front Nasional tersebut sangat menonjol.

Disamping penyempurnaan aparatur pemerintahan, oleh Pemerintah Daerah dirasakan pula bahwa luasnya daerah-daerah kabupaten yang ada dan batas-batasnya kurang sempurna, sehingga sering menimbulkan stagnasi dalam kelancaran jalannya roda pemerintahan. Ditambah lagi adanya hasrat rakyat dari beberapa daerah seperti Indragiri Hilir, Rokan, Bagan Siapi-api dan lain-lain yang menginginkan supaya daerah-daerah tersebut dijadikan Kabupaten. Untuk itu maka oleh Pemerintah Daerah Provinsi Riau pada tanggal 15 Desember 1962 dengan SK. No.615 tahun 1962 di bentuklah suatu panitia.

Hasil kerja dari pantia tersebut menjadikan Provinsi Riau 5 (lima) buah daerah tingkat II dan satu buah Kotamadya.

* Kotamadya Pekanbaru : Walikota KDH Kotamadya Tengku Bay.
* Kabupaten Kampar : Bupati KDH R. Subrantas
* Kabupaten Indragiri Hulu : Bupati KDH. H. Masnoer
* Kabupaten Indragiri Hilir : Bupati KDH Drs. Baharuddin Yusuf
* Kabupaten Kepulauan Riau : Bupati KDH Adnan Kasim
* Kabupaten Bengkalis : Bupati KDH H. Zalik Aris

Sewaktu pemerintah pusat memutuskan hubungan diplomatik dengan Malaysia dan Singapura, serta ditingkatkan dengan konfrontasi fisik dengan keputusan Presiden Republik Indonesia tahun 1963, maka yang paling dahulu menampung konsekwensi-konsekwensinya adalah daerah Riau. Daerah ini yang berbatasan langsung dengan kedua negara tetangga tersebut dan orientasi ekonominya sejak berabad-abad tergantung dari Malaysia dan Singapura sekaligus menjadi kacau.

Untuk menghadapi keadaan yang sangat mengacaukan kehidupan rakyat tersebut, dalam rapat kilat yang diadakan Gubernur beserta anggota-anggota BPH, Catur Tunggal dan Instansi-instansi yang bertanggung jawab, telah dibahas situasi yang gawat tersebut serta dicarikan jalan keluar untuk bisa mengatasi keadaan. Kepada salah seorang anggota BPH ditugaskan untuk menyusun suatu konsep program yang meliputi semua bidang kecuali bidang pertanahan, dengan diberi waktu satu malam. Dalam rapat yang diadakan besok paginya konsep yang telah disusun tersebut diterima secara mutatis mutandis.

Tetapi nyatanya pemeritah pusat waktu itu tidak dapat melaksanakan program tersebut sebagaimana yang diharapkan terutama tindakan-tindakan yang diperlukan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi langsung oleh rakyat, seperti pengiriman bahan pokok untuk daerah-daerah Kepulauan dan penyaluran hasil produksi rakyat.

Dalam bidang moneter diambil pula tindakan-tindakan drastis dengan menghapuskan berlakunya mata uang dollar Singapura/Malaysia di Kepulauan Riau, serta menggantinya dengan KRRP (Rupiah Kepualaun Riau) yang berlaku mulai tanggal 15 Oktober 1963. Untuk melaksanakan pengrupiahan Kepualauan Riau tersebut, diberikan tugas kepada Team Task Force II dibawah pimpinan Mr. Djuana dari Bank Indonesia.

Dengan perubahan-perubahan pola ekonomi secara mendadak dan menyeluruh dengan sendirinya terjadi stagnasi. Perekonomian jadi tidak menentu. Arus barang terhenti, baik keluar maupun masuk. Daerah Riau yang pada dasarnya adalah penghasil barang ekspor, akhirnya menjadi kekeringan. Barang-barang produksi rakyat, terutama karet menjadi menumpuk dan tak dapat di alirkan, barang-barang kebutuhan rakyat tidak masuk kecuali yang didatangkan oleh pemerintah sendiri yang tebatas hanya di kota-kota pelabuhan. Kebijaksanaan yang diambil pemerintah kemudian tidak meredakan keadaan, malahan menambah kesengsarahan rakyat, terutama di bidang ekonomi dan keamanan.

Untuk menanggulangi bidang ekonomi, di pusat dibentuk Komando Tertinggi Urusan Ekonomi (Kotoe) yang dipimpin oleh Wakil Perdana Menteri I Dr. Subandrio. Di Riau di tunjuk Gubernur Kaharuddin Nasution sebagai pembantu Kotoe tersebut. Oleh Kotoe di tunjuk PT. Karkam dengan hak monopoli untuk menampung seluruh karet rakyat dan mengekspor keluar negeri. Kondisi ini justru semakin memperburuk perekonomian rakyat.

Pada tahun–tahun terakhir masa jabatan Gubernur Kaharuddin Nasution terjadi ketegangan dengan pemuka-pemuka masyarakat Riau. Dari segi politis, ketegangan dengan tokoh-tokoh masyarakat Riau telah berjalan beberapa tahun yang berpangkal pada politik kepegawaian. Pemuka-pemuka daerah berpendapat bahwa Gubernur Kaharuddin Nasution terlalu banyak memberikan kedudukan-kedudukan kunci kepada orang-orang yang dianggap tidak mempunyai iktikad baik terhadap daerah Riau. Hal ini ditambah pula dengan ditangkapnya Wakil Gubernur Dt. Wan Abdul Rachman yang difitnah ikut dalam gerakan membentuk negara RPI (Republik Persatuan Indonesia), fitnahan ini dilansir oleh PKI. Akibatnya Dt. Wan Abdurrachman diberhentikan dari jabatannya dengan hak pensiun.

Kebangkitan Angkatan 66 dalam memperjuangkan keadilan dan kebenaran di Riau bukanlah suatu gerakan spontanitas tanpa sadar. Kebangkitan Angkatan 66 timbul dari suatu embrio proses sejarah yang melanda Tanah Air. Konsep Nasakom Orde Lama menimbulkan penyelewengan-penyelewengan dalam segala aspek kehidupan nasional. Lembaga-lembaga Negara tidak berfungsi sebagaimana yang diatur dalam UUD 1945. Penetrasi proses Nasakomisasi ke dalam masyarakat Pancasilais menimbulkan keretakan sosial dan menggoncangkan sistem-sistem nilai yang menimbulkan situasi konflik. Di tambah lagi adanya konfrontasi dengan Malaysia yang menyebabkan rakyat Riau sangat menderita karena kehidupan perekonomian antara Riau dengan Malaysia menjadi terputus.

Demikianlah penderitaan, konfrontasi dan kemelut berlangsung terus dan suasana semakin panas di Riau. Menjelang meletusnya G 30 S/PKI kegiatan tokoh-tokoh PKI di Riau makin meningkat. Mereka dengan berani secara langsung menyerang lawan-lawan politiknya. Tokoh-tokoh PKI Riau Alihami Cs mempergunakan kesempatan dalam berbagai forum untuk menghantam lawan-lawannya dan menonjolkan diri sebagai pihak yang revolusioner. Begitu juga masyarakat Tionghoa yang berkewargaan negara RRT memperlihatkan kegiatan-kegiatan yang luar biasa. Malam tanggal 30 September 1965 mereka yang tergabung dalam Baperki bersama-sama dengan PKI Riau mengadakan konsolidasi dan Show of force dalam memperingati Hari Angkatan Perang Republik Indonesia, jadi sehari mendahului waktu peringatan yang sebenarnya. Tindakan selanjutnya; PKI beserta ormas-ormasnya memboikot sidang pleno lengkap Front Nasional Riau yang langsung dipimpin oleh Gubernur Kaharuddin Nasution pada tanggal 30 September 1965. Ternyata kegiatan dan pergerakan PKI beserta ormas-ormasnya adalah untuk merebut pemerintahan yang syah. Kondisi ini akhirnya bisa di akhiri, perjuangan generasi muda Riau tidak sia-sia, rezim Orde Lama di Riau tamat sejarahnya dan Kolonel Arifin Achmad diangkat sebagai care taker Gubernur/KDH Riau pada tanggal 16 Nopember 1966. Mulai saat itu tertancaplah tonggak kemenangan Orde Baru di Riau.

Dengan diangkatnya Kolonel Arifin Achmat sebagai care taker Gubernur Kepala Daerah Provinsi Riau terhitung mulai tanggal 16 Oktober 1966 dengan surat keputusan Menteri Dalam Negeri No. UP/4/43-1506. pelantikannya dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri Letnan Jenderal Basuki rachmad dalam suatu sidang pleno DPR-GR Provinsi Riau pada tanggal 15 Nopember 1966. Kemudian pada tanggal 16 Februari 1967 DPRD-GR Provinsi Riau mengukuhkan Kolonel Arifin Achmad sebagai Gubernur Riau dengan Surat Keputusan Nomor 002/Kpts/67. Maka Menteri Dalam Negeri mengesyahkan pengangkatan Kolonel Arifin Achmad sebagai Gubernur Kepala Derah Provinsi Riau untuk masa jabatan 5 tahun, dengan Surat Keputusan No. UP/6/1/36-260, tertanggal 24 Februari 1967. Surat Keputusan tersebut diperbaharui dengan Surat Keputusan Presiden Repbulik Indonesia Nomor : 146/M/1969 tertanggal 17 Nopember 1969.

Sejarah Kota Padang


Kota Padang berawal dari pemukiman di tepi air, tepatnya di muara Sungai Batang Arau ke Samudera Hindia. Pada waktu itu Padang merupakan sebuah perkampungan nelayan kecil. Penduduk pada waktu itu terdiri atas orang-orang Rupit dan Tirau (Non Minangkabau). Mereka bekerja sebagai nelayan mengarungi samudera dengan kapal-kapal kecil mereka yang disandarkan di bibir muara. Pada abad ke–14 (1340-1375) Kota Padang dikenal sebagai kampung nelayan dengan sebutan Kampung Batung yang diperintah oleh Penghulu Delapan Suku. Tidak ada data yang pasti siapa yang memberi nama kota ini Padang. Yang jelas sejak kedatangan Bangsa Belanda ke kota ini, penduduknya sudah cukup banyak dengan bermukim disepanjang Sungai Batang Arau. Diperkirakan Kota Padang pada zaman dahulu berupa sebuah dataran atau padang yang sangat luas yang ditumbuhi semak-semak kecil, rumput-rumput, lalang, sikejut dan sebagainya. Oleh sebab itu orang-orang yang datang pertama kali memberi nama kota ini Padang.

Setelah berabad-abad dikuasai Kerajaan Pagarruyung (Minangkabau), pada abad ke-16 Daerah Pesisir Minangkabau termasuk Padang diserahkan oleh Besar Empat Balai (Majelis tertinggi di Kerajaan Minangkabau) kepada Kerajaan Aceh untuk membayar kesalahan raja Minangkabau pada raja Aceh. Pada abad ke-17 Kota Padang berhasil ditemukan VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie). Karena memiliki muara yang bagus dan besar VOC pun tertarik untuk membangun pelabuhan yang besar di Padang. Pada tahun 1667 VOC mendapat izin dari penghulu "Orang Kayo Kaciak" mendirikan Loji pertamanya di Padang. Izin ini diberikan sebagai imbalan kepada VOC yang telah membantu penduduk setempat membebaskan diri dari kekuasaan Kerajaan Aceh. Pendirian Loji ini memulai babak Penjajahan Barat di Kota Padang.

VOC lalu membangun Padang sebagai kota pelabuhan dan pemukiman baru. Kota Padang pun tumbuh menjadi kota bandar pelabuhan dan perdagangan yang ramai di pantai barat Sumatera. Bercongkolnya VOC di Kota Padang membuat masyarakat sekitar marah. Pada 7 Agustus 1669 merupakan puncak pergolakan masyarakat Pauh dan Koto Tangah melawan Belanda. Loji-loji Belanda di Muaro, Padang berhasil dikuasai. Peristiwa tersebut diabadikan sebagai tahun lahir Kota Padang. Namun kemudian pergolakan itu berhasil dilemahkan VOC.

Pada 31 Desember 1799 seluruh kekuasaan VOC diambil alih pemerintah Belanda dengan membentuk pemerintah kolonial. Kota Padang dijadikan pusat kedudukan Residen dan pusat pemerintahan wilayah Gouvernement Sumatra's Westkust yang meliputi Sumatera Barat dan Tapanuli.
Padang tahun 1795

Pada 1 Maret 1906 lahir ordonansi yang menetapkan Padang sebagai daerah Cremente (STAL 1906 No.151) yang berlaku 1 April 1906.

Pada 9 Maret 1950, Padang dikembalikan ke tangan RI yang merupakan negara bagian melalui SK. Presiden RI Serikat (RIS), No.111 tanggal 9 Maret 1950.

Surat Keputusan Gubernur Sumatera Tengah No. 65/GP-50, tanggal 15 Agustus 1950 menetapkan Pemerintahan Kota Padang sebagai suatu daerah otonom sementara menunggu penetapannya sesuai UU No. 225 tahun 1948. Saat itu kota Padang diperluas, kewedanaan Padang dihapus dan urusannya pindah ke Walikota Padang. Pada 29 Mei 1958. Gubernur Sumatera Barat melalui Surat Keputusan No. 1/g/PD/1958 secara de facto menetapkan kota Padang menjadi ibukota propinsi Sumatera Barat.

Tahun 1975 secara de jure Padang menjadi ibukota Sumatera Barat, yang ditandai dengan keluarnya UU No.5 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. Kotamadya Padang dijadikan daerah otonom dan wilayah administratif yang dikepalai oleh seorang Walikota.

Sejarah Kota Jambi




BatanghariKota Jambi adalah ibukota Propinsi Jambi dan merupakan salah satu dari 10 derah kabupaten/kota yang ada dalam Propinsi Jambi. Secara historis, Pemerintah Kota Jambi dibentuk dengan Ketetapan Gubernur Sumatera No.103/1946 sebagai Daerah Otonom Kota Besar di Sumatera, kemudian diperkuat dengan Undang-undang No.9/1956 dan dinyatakan sebagai Daerah Otonom Kota Besar dalam lingkungan Propinsi Sumatera Tengah.


Dengan dibentuknya Propinsi Jambi tanggal 6 Januari 1948, maka sejak itu pula Kota Jambi resmi menjadi Ibukota Propinsi, dengan demikian Kota Jambi sebagai Daerah Tingkat II pernah menjadi bagian dari tiga Propinsi yakni Propinsi Sumatera, Propinsi Sumatera Tengah dan Propinsi Jambi sekarang.

Memperhatikan jarak waktu antara Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dengan dibentuknya Pemerintah Kota Jambi, tanggal 17 Mei 1946, terjadi dalam waktu yang relatif singkat. Hal ini jelas menunjukkan bahwa Pembentukan Pemerintah Otonom Kota Besar Jambi saat itu sangat dipengaruhi oleh jiwa dan semangat Proklamasi 17 Agustus 1945.

Meskipun menurut catatan sejarah, pendirian Kota Jambi bersamaan dengan berdirinya Propinsi Jambi (6 Januari 1948), namun hari jadinya ditetapkan dua tahun lebih dahulu, sesuai Peraturan Daerah (Perda) Kota Jambi No.16 tahun 1985 yang disyahkan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jambi dengan Surat Keputusan No. 156 tahun 1986, bahwa Hari Jadi Pemerintah Kota Jambi adalah tanggal 17 Mei 1946, dengan alasan bahwa terbentuknya Pemerintah Kota Jambi (sebelumnya disebut Kotamadya sebelum kemudian menjadi Kota saja), adalah tanggal 17 Mei 1946 dengan Ketetapan Gubernur Sumatera No. 103 tahun 1946, yang diperkuat dengan UU No. 9 tahun 1956. Kota Jambi resmi menjadi Ibukota Propinsi Jambi pada tanggal 6 Januari 1957 berdasarkan UU No. 61 tahun 1958.

Sejarah Kota Bengkulu


Propinsi Bengkulu berdiri pada tanggal 18 November 1968 dengan Ibu Kota Bengkulu, Kota Bengkulu sebelumnya merupakan ibu kota Kabupaten Bengkulu Utara dab bagian dari Sumatera Selatan. Sekarang Kota Bengkulu memiliki 4 Kecamatan setelah diperluas, yaitu Kecamatan Teluk Segara, Gading Cempaka, Bangkahulu dan Selebar.


Putri Gading Cempaka adalah nama seorang putri kerajaan Bengkulu yang yang juga identik dengan propinsi ini dan juga sering orang menyebut dengan Bumi Rafflesia karena di propinsi ini ada bunga terbesar di dunia yaitu bunga Rafflesia Arnoldy di Bengkulu Utara, Bengkulu Selatan, Rejang Rebong, dan Kepahyang.

Tempat Wisata sangat bagus di Bengkulu, ada Benteng Marlborough peninggalan Inggris pada abad 16an, Pantai Panjang, Danau Dendam Taksudah, Pantai Zakat, Tapak Paderi dan Wisata sejarah lainnya seperti makam Sentot Ali Basah dll.

Bengkulu merupakan kota yang kecil, hanya dengan kurang lebih 2 jam kita telah dapat mengelilingi kota Bengkulu, pantai panjangnya merupakan salah satu pantai terindah di Indonesia

Kota Bengkulu sangat bagus dijadikan kota wisata, dan Kota Pelajar karena kota ini tenang dan indah... keramahan penduduk Bengkulu dapat dilihat dari lagu dan tari-tariannya. Pestival Tabot setiap tahun merupakan gambaran gotong royong dan kebersamaan di Bengkulu

Sejarah Kota Palembang


Palembang merupakan kota tertua di Indonesia, hal ini didasarkan pada prasasti Kedukan Bukit (683 M) yang diketemukan di Bukit Siguntang, sebelah barat Kota Palembang, yang menyatakan pembentukan sebuah wanua yang ditafsirkan sebagai kota yang merupakan ibukota Kerajaan Sriwijaya pada tanggal 16 Juni 683 Masehi (tanggal 5 bulan Ashada tahun 605 syaka). Maka tanggal tersebut dijadikan patokan hari lahir Kota Palembang.


Batu-bersurat (prasasti) itu ditemukan oleh Controleur Batenberg di tepi sungai Kedukan Bukit, yakni diantara Bukit Seguntang dengan Situs Karanganyar pada tahun 1926 dengan menggunakan huruf Pallawa dan bahasa Melayu kuno. Prasasti tersebut oleh penduduk kampung Kedukan Bukit waktu itu dijadikan semacam tumbal bila akan mengikuti lomba Bidar, yakni dengan cara meletakkan di haluan Bidar yang akan diperlombakan. Konon, Bidar atau Perahu yang digentoli dengan batu “sakti-bertuah” itu senantiasa menang berlomba. Kemudian Batu-bersurat Kedukan Bukit itu ditelaah oleh para pakar sejarah dan kebudayaan, diantaranya Prof. M. Yamin yang menyatakan, itulah proklamasi (penggalian/pemindahan) ibukota Sriwijaya (dari tempat lain) ke Bukit Seguntang.

Prasasti Kedukan Bukit itu berbunyi sebagai berikut:

(1) Swasti cri cakawarsatita 605 ekadaci cu (2) klapaksa wulan waicakha dapunta hiyang nayik di (3) samwau manalap siddhayatra disaptami cuklapaksa (4) wulan jyesta dapunta hiyang marlapas dari Minanga (5) Tamvan mamawa yam wala dualaksa danan koca (6) duaratus cara di samwau danan jalan sariwu (7) tluratus sapulu dua wannakna datam di Mukha Upang (8) Sukhacitta di pancami cuklapaksa wulan (9) laghu mudita datam marwuat wanua (10) Criwijava siddhayatra subhiksa.

[Bacaan Prof. Poerbacaraka, G. Coedes, Prof. Dr. Ph.S. Van Ronkel Dr. Buchari, Prof. Slametmulyana]

Kota Palembang juga dipercayai oleh masyarakat melayu sebagai tanah leluhurnya. Karena di kota inilah tempat turunnya cikal bakal raja Melayu pertama yaitu Parameswara yang turun dari Bukit Siguntang. Kemudian Parameswa meninggalkan Palembang bersama Sang Nila Utama pergi ke Tumasik dan diberinyalah nama Singapura kepada Tumasik. Sewaktu pasukan Majapahit dari Jawa akan menyerang Singapura, Parameswara bersama pengikutnya pindah ke Malaka disemenanjung Malaysia dan mendirikan Kerajaan Malaka. Beberapa keturunannya juga membuka negeri baru di daerah Pattani dan Narathiwat (sekarang wilayah Thailand bagian selatan). Setelah terjadinya kontak dengan para pedagang dan orang-orang Gujarat dan Persia di Malaka, maka Parameswara masuk agama Islam dan mengganti namanya menjadi Sultan Iskandar Syah.

Berbicara mengenai asal usul kota Palembang, memang tidak bisa dilepaskan dari sejarah perkembangan kerajaan Sriwijaya, yang pernah menjadikan kota Palembang sebagai ibukotanya. Kejayaan Sriwijaya seolah-olah diturunkan kepada Kesultanan Palembang Darusallam pada zaman madya sebagai kesultanan yang disegani dikawasan Nusantara. Palembang pernah berfungsi sebagai pusat kerajaan Sriwijaya dari abad ke-7 (tahun 683 Masehi) hingga sekitar abad ke-12 di bawah Wangsa Sailendra/Turunan Dapunta Salendra dengan Bala Putra Dewa sebagai Raja Pertama. Pada abad ke-17 kota Palembang menjadi ibukota Kesultanan Palembang Darussalam yang diproklamirkan oleh Pangeran Ratu Kimas Hindi Sri Susuhanan Abdurrahman Candiwalang Khalifatul Mukminin Sayidul Iman (atau lebih dikenal Kimas Hindi/Kimas Cinde) sebagai sultan pertama (1643-1651), terlepas dari pengaruh kerajaan Mataram (Jawa). Tanggal 7 Oktober 1823 Kesultanan Palembang dihapuskan oleh penjajah Belanda dan kota Palembang dijadikan Komisariat di bawah Pemerintahan Hindia Belanda (kontrak terhitung 18 Agustus 1823), dengan Commisaris Sevenhoven sebagai pejabat Pemerintah Belanda pertama. Kemudian kota Palembang dijadikan Gameente/haminte berdasarkan stbld. No. 126 tahun 1906 tanggal 1 April 1906 hingga masuknya Jepang tanggal 16 Februari 1942. Palembang Syi yang dipimpin Syi-co (Walikota) berlangsung dari tahun 1942 hingga kemerdekaan RI. Berdasarkan keputusan Gubernur Kdh. Tk. I Sumatera Selatan No. 103 tahun 1945, Palembang dijadikan Kota Kelas A. Berdasarkan Undang-Undang No. 22 Tahun 948, Palembang dijadikan Kota Besar. Berdasarkan Undang-Undang No. 18 Tahun 1965, Palembang dijadikan Kotamadya. Berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tanggal 23 Juli 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, Palembang dijadikan Kotamadya Daerah Tingkat II Palembang.

sumber : http://infokito.wordpress.com/2007/07/15/mengenal-kota-palembang/